Sabtu, 24 Desember 2011

MEMINTA JABATAN

                Pada masa sekarang ini, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, banyak orang yang mencari pekerjaan atau jabatan dengan cara yang bermacam-macam  :diantaranya ada yang mengajukan lamaran pekerjaan, kemudian menjalani tes masuk, dan ada pula yang ingin jadi pemimpin dengan menunjukkan bahwa dirinya mampu untuk memimpin. Seorang pemimpin dalam suatu jabatan ibarat kepala bagi tubuh. Inilah yang menentukan seluruh tujuan, dan disini pula tempat berkumpulnya segala macam informasi. Seorang pemimpim bertugas mengkaji dan memikirkan setiap masalah yang dihadapinya, dan dalam pelaksanaannya pemimpin dapat saja dibantu oleh orang yang punya kemampuan untuk tugas tersebut. Seorang pemimpin juga merupakan lambang kekuatan, persatuan, keutuhan dan disiplin masyarakat. Karena itu kedudukan pemimpin dalam masyarakat sangatlah penting. Mengingat pentingnya seorang pemimpin, maka masyarakat yang meninginkan kekuasaan dan persatuan harus berhati-hati dalam menentukan calon pemimpinnya, tidak boleh ada pilih kasih. Kehancuran masyarakat masa lalu adalah ketika mereka memilih seorang pemimpin yang lemah dan tidak mampu menguasai masyarakat.
              Islam mengaitkan konsep kepemimpinan ini sebagai amanah dari Allah, karena itu kepemimpinan dalam islam tidak boleh dijadikan rebutan dan pelampiasan ambisi seseorang. Sebab kepemimpinan dalam islam bukan hanya jabatan dalam urusan keduniaan, pemerintahan atau seperti umumnya organisasi yang mengejar jabatan, pengaruh, kekuasaan, harta dan sebagainya. Kepemimpinan dalam islam erat dengan pelaksanaan dakwah dan upaya merealisasikan hukum-hukum Allah di muka bumi. Barang siapa yang gagal menyempurnakan hak Allah, maka ia akan mendapatkan kesengsaraan dan penyesalan pada hari kiamat. Kedudukan seorang pemimpin bagi masyarakat adalah layaknya seorang ayah bagi anaknya dalam kaitan ikatan hati atau sebagai guru dalam kaitan mengajarkan ilmu yang bermanfaat.
            Konsep kepemimpinan tersebut akan melahirkan saling menghormati dan saling mencintai serta saling membutuhkan diantara pemimpin dengan masyarakat yang dipimpinnya. Karena itu pemimpin dalam islam bukan penguasa, pemimpin dalam islam lebih berdimensi pelayan bagi masyarakat. Disinilah sebenarnya perbedaan nyata yang mencolok antara masyarakat kontemporer dengan masyarakat baru yang berdaya dan berkeadilan, dimana konsep kepemimpinan masyarakat dewasa ini identik dengan kekuasaan, sementara konsep kepemimpinan dalam islam lebih bernuansa pelayan bagi masyarakat.
             Maka kemudian mucul sebuah pertanyaan : Bagaimana  kedudukan seseorang yang meminta jabatan atau seseorang yang ambisi jabatan dalam pandangan islam  .       ?
Dalam sebuah Hadits Rasulullah Saw bersabda yang artinya :
             “Dari Abu Musa : Aku datang bersama dua orang lain kepada Rasulullah saw., salah seorang dari mereka berkata : Ya Rasulullah Saw. Jadikanlah kami pemimpin terhadap yang lain dan yang lain berkata seperti itu juga, lalu Rasulullah Saw. menjawab : Demi Allah sesungguhnya kami tidak mengangkat seseorang untuk mengurusi masalah ini atas dasar permintaannya dan tidak juga seseorang yang ambisi terhadap jabatan itu “( Hadits Riwayat Muslim ).
Dalam Hadits yang lain Beliau bersabda yang artinya :
             Diriwayatkan dari Abu Burdah, dia berkata : Abu Musa ra. berkata: “Aku bersama dua orang laki-laki dari kaum Asy’ariyyin menghadap kepada      Nabi Saw. yang satu di sebelah kananku dan yang lain di sebelah kiriku, keduanya meminta jabatan, ketika Nabi Saw bersiwak, lalu Beliau bertanya    : “Apa yang akan kau ucapkan hai Abu musa( atau, hai Abdullah bin Qais ) ?. Kata Abu Musa, lalu aku katakan : “Demi Allah yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, dua orang ini tadi tidak memberi tahu saya tentang apa yang terlintas dalam diri mereka dan saya tidak menyangka kalau keduanya akan meminta jabatan “
                 Kata Abu Musa : “Sepertinya aku melihat siwak Rasulullah Saw. dibawah bibir beliau dan siwak tersebut menyusut”, lalu beliau bersabda: “kami tidak akan (atau tidak) memberikan jabatan kepada orang yang memintanya”. Pergilah hai Abu Musa (hai Abdullah bin Qais). Maka Rasulullah Saw. mengutus Abu Musa ke Yaman, lalu beliau mengutus Muadz bin Jabal. Ketika Muadz bin Jabal tida di yaman, Abu Musa mengatakan.”beristirahatlah!” lalu da memberikan bantal kepadanya, ketika itu ada seorang laki-laki diikat disisinya, lalu dia bertanya “ada apa ini?” Abu Musa menjawab: Orang ini semula yahudi, lalu masuk islam, kemudian kembali keagamanya yang jelek, menjadi yahudi lagi   “kata Muadz” aku tidak akan duduk sampai orang ini dibunuh. Begitulah ketetapan Allah dan RasulNya ! (dia ucapkan kata-kata itu tiga kali). Sehingga Abu Musa memerintahkan agar orang itu dibunuh, “maka orang tersebut dibunuh”.     Lalu keduanya berbincang-bincang tentang shalat tahajjud, maka salah satunya ( Muadz) berkata; “kalau aku, ya tidur, ya tahajjud dan dengan tidurku itu aku berharap bisa bertahajjud”.(hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari no.hadits 6923)
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
               Diriwayatkan dari Abdurrahman bin samurah ra.,dia berkata : Rasulullah Saw bersabda kepadaku, Hai Abdurrahman, janganlah kamu minta jabatan dalam pemerintahan, karena kamu jika diberi jabatan melalui permintaanmu maka bebanmu sungguh berat, tetapi jika kamu diberi jabatan tanpa kau minta maka kamu akan dibantu oleh orang banyak. ( hadits ini juga diriwayatkan oleh     al-Bukhari, nomor hadits 6622 )

 Penjelasan Hadis.
                Dari beberapa hadits tersebut diatas dapat dipahami bahwa  seseorang yang meminta jabatan atau ingin menjadi pemimpin dengan jalan meminta jabatan tersebut kepada seorang pejabat yang sedang berkuasa dilarang dalam syari’at agama islam. Rasulullah dengan tegas memberikan jawaban ketika terdapat seseorang yang menginginkan untuk diangkat menjadi pemimpin dengan sabdanya yang artinya : “Demi Allah sesungguhnya kami tidak akan mengangkat seseorang untuk mengurusi masalah ini atas dasar permintaannya dan tidak juga seseorang yang ambisi terhadap jabatan” Ini menunjukkan kepada kita bahwa persoalan kepemimpinan merupakan perseoalan yang sangat penting, jangan sampai seseorang menjadi pemimpin dengan jalan meminta karena seorang pemimpin yang meminta jabatan nantinya akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di hari kiamat dengan sangat berat sekali, kecuali jika dia mempunyai kemampuan dan ingin merubah sistem kepemimpinan yang kurang baik agar menjadi baik maka diperbolehkan seperti Nabi Yusus AS. yang menjadi pemimpin karena dengan kemampuannya pada ahirnya dapat memakmurkan rakyat mesir pada waktu itu.

Metode Pembelajaran yang digunakan Rasul dalam hadis.
          Metode Pembelajaran yang digunakan oleh Rasulullah dalam hadits ini adalah dengan Metode Taghrib dan Tarhib, yaitu janji terhadap kenikmatan, kesenangan akhirat yang disertai bujukan sedangkan Tarhib adalah ancaman karena dosa yang dilakukan, yang bertujuan agar seseorang mematuhi aturan Allah dan RasulNya. Akan tetapi, tekanannya ialah targhib agar seseorang melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar seseorang menjauhi kejahatan. Metode ini didasarkan pada fitrah (sifat kejiwaan) manusia yaitu sifat keinginan kepada kesenangan, keselamatan dan tidak menginginkan kepedihan dan kesengsaraan.

Unsur Edukasi yang terdapat dalam hadis.
        Unsur edukasi yang terdapat dalam hadits tersebut adalah :
1.      Seorang pemimpin dalam suatu masyarakat atau suatu perkumpulan sangat penting dan dibutuhkan , namun ia bukanlah segala-galanya, sebab sebagaimana diketahui bahwa perjalanan suatu masyarakat atau aktifitas dapat baik bukan semata-mata karena pemimpinnya.
2.      Seseorang pemimpin yang dalam memperoleh jabatan dengan cara meminta jabatan atau yang sejenisnya, maka dalam perjalanan kepemimpinannya tidak akan baik,  karena pada umumnya kepemimpinan model tersebut sesungguhnya dia tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin , dia hanya memperturutkan ambisi keinginannya saja tanpa pertimbangan yang lain.
3.      Seorang Pemimpin yang ambisius dalam memperoleh jabatan pada umumnya tidak pernah memikirkan orang yang dipimpinnya karena dia hanya mementingkan diri dan kelompoknya, oleh karena itu jauhilah cara-cara untuk mendapatkan kepemimpinan yang tidak benar karena nanti pada hari akherat seluruh aktifitasnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt..
4.      Kepemimpinan dalam islam erat dengan pelaksanaan dakwah dan upaya merealisasikan hukum-hukum Allah di muka bumi. Barang siapa yang gagal menyempurnakan hak Allah, maka ia akan mendapatkan kesengsaraan dan penyesalan pada hari kiamat, dan kedudukan seorang pemimpin bagi masyarakat adalah layaknya seorang ayah bagi anaknya dalam kaitan ikatan hati atau sebagai guru dalam kaitan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada muridnya..


Kesimpulan .
           Dari uraian  diatas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Rasulullah Saw. melarang  seseorang untuk meminta jabatan untuk menjadi    seorang pemimpin di dalam suatu perkumpulan atau ditengah-tengah masyarakat karena orang yang meminta-minta jabatan pada umumnya tidak mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.
2.      Keberadaan seorang  pemimpin yang dalam memperoleh jabatan dengan cara meminta jabatan atau yang sejenisnya, maka dalam perjalanan kepemimpinannya tidak akan baik,  karena pada umumnya kepemimpinan model tersebut sesungguhnya hanya memperturutkan ambisi keinginannya saja tanpa pertimbangan yang lain sehingga mengalami kegagalan dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya.
       c. Seorang Pemimpin yang ambisius dalam memperoleh jabatan pada umumnya tidak pernah memikirkan orang yang dipimpinnya karena dia hanya mementingkan diri dan kelompoknya, oleh karena itu jauhilah cara-cara untuk mendapatkan kepemimpinan yang tidak benar karena nanti pada hari akherat seluruh aktifitasnya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt
      d.  Kepemimpinan dalam Islam erat kaitannya dengan pelaksanaan dakwah dan upaya merealisasikan hukum-hukum Allah di muka bumi, maka barang siapa yang gagal menyempurnakan hak Allah, maka ia akan mendapatkan kesengsaraan dan penyesalan pada hari kiamat . 
Referensi   :
1. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam
2. Imam al-Mundziri, Muhtashor Shahih Muslim
3. Shahih Muslim, Kitab An-Nahyu ‘an Talabi al-Imarah wal al-Hardshu alaiha

1 komentar: